Pernikahan Arwah (The Butterfly House) Coba Gabungkan Konsep Horor dengan Tradisi Tionghoa

Entelekey Media Indonesia (EMI) berkolaborasi dengan Relate Films dengan bangga mempersembahkan film horor terbarunya, Pernikahan Arwah (The Butterfly House). Film horor ini menyuguhkan perpaduan unik antara unsur tradisi Tionghoa dan alur cerita yang menegangkan. Disutradarai oleh Paul Agusta, film ini dibintangi oleh deretan aktor berbakat seperti Morgan Oey, Zulfa Maharani, Jourdy Pranata, dan Brigitta Cynthia.

Dalam press conference yang digelar di Work Coffee, Jakarta (8/10), Paul Agusta, sang sutradara, menjelaskan bahwa Pernikahan Arwah (The Butterfly House) ingin menampilkan sisi budaya peranakan Tionghoa dengan balutan nuansa horor yang mencekam

“Film ini membawa elemen horor yang tidak hanya berfokus pada ketegangan, tetapi juga tentang budaya peranakan Tionghoa, terutama tradisi pernikahan arwah. Ini adalah tantangan bagi saya untuk menggabungkan dua elemen ini menjadi sebuah narasi yang kuat,” ungkapnya.

Sinopsis film horor Pernikahan Arwah (The Butterfly House)

Dok. Pernikahan Arwah.

Film Pernikahan Arwah (The Butterfly House) bercerita tentang Salim (Morgan Oey) dan Tasya (Zulfa Maharani), pasangan yang sedang mempersiapkan pernikahan mereka, namun terjebak dalam misteri arwah leluhur Salim saat melakukan sesi foto pre-wedding di rumah keluarganya. Penulis skenario Aldo Swastia berbicara tentang inspirasi di balik cerita ini.

“Inspirasi cerita film ini datang dari rekan saya, Ario Sasongko. Kami menulis skenario ini bersama, terinspirasi dari tradisi kuno pernikahan arwah dalam budaya Tionghoa, yang jarang diangkat di Indonesia. Tradisi ini merupakan bagian penting dari sejarah dan warisan budaya kita, dan saya ingin menggabungkannya dengan genre horor untuk memberikan pengalaman yang berbeda bagi penonton” ujar Aldo.

Lokasi syuting yang bawa suasana makin otentik

Syuting film dilakukan di Lasem, sebuah kota yang kaya akan warisan budaya Tionghoa, menciptakan suasana yang otentik bagi film ini. Menurut sang sutradara, pemilihan lokasi sangat penting untuk menciptakan atmosfer yang tepat.

“Film Pernikahan Arwah (The Butterfly House) membawa elemen horor yang tidak hanya berfokus pada ketegangan, tetapi juga tentang budaya peranakan Tionghoa, terutama tradisi pernikahan arwah. Ini adalah tantangan bagi saya untuk menggabungkan dua elemen ini menjadi sebuah narasi yang kuat dalam film,” ujar Paul Agusta, sutradara film Pernikahan Arwah (The Butterfly House).

Film ini juga mengharuskan para aktornya untuk melakukan pendalaman karakter yang intens, terutama karena cerita ini menggabungkan elemen spiritual dan tradisional. Morgan Oey, yang berperan sebagai Salim, berbagi pengalamannya dalam mempersiapkan diri untuk memerankan karakter ini. “Saya melakukan cukup banyak riset tentang tradisi Tionghoa. Ini adalah pertama kalinya saya bermain dalam film horor dengan sentuhan budaya Tionghoa yang kuat, dan itu memberikan tantangan tersendiri,” kata Morgan.

Proses syuting yang berlangsung di Lasem, sebuah kota yang terkenal dengan warisan budaya Tionghoa-nya, juga memberikan suasana otentik bagi film ini. Menurut Paul Agusta, pemilihan lokasi syuting sangat penting dalam menciptakan atmosfer yang sesuai dengan cerita. “Lasem memberikan energi yang unik. Ada sejarah panjang di setiap sudut kotanya, dan itu benar-benar membantu menciptakan latar yang sempurna untuk cerita ini,” jelasnya.

Selain horor yang berakar pada tradisi, film ini juga menyajikan kisah cinta tragis yang menjadi salah satu elemen emosional yang mendasari konflik dalam cerita. “Kombinasi antara horor dan romansa di film ini memberikan dimensi baru yang lebih berlapis dan menarik, menjadikannya lebih dari sekadar film horor biasa,” tambah Aldo Swastia.

Film ini dijadwalkan tayang di bioskop pada 2025. Gimana nih, pendapat kamu soal film horor yang membawa budaya Tionghoa ini?

Stay Updated!
Tetap terhubung di media sosial supaya cepat dapat pembaruan.